Sunday 17 May 2009

Forum Curhat Online : Teror dan Waria


Dear Konselor Matari Sehati Yogyakarta

Saya adalah seorang mahasiswa s2 di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Saya merasa bingung dengan sikap seseorang yang selalu meneror saya. Masalah yang akan saya tanyakan adalah Apakah waria itu tergolong sebagai Psikopat? karena teror yang saya terima adalah berupa ancaman pembunuhan. Dari ancaman-ancaman yang saya terima awalnya saya masih sabar dan tidak gegabah untuk melaporkannnya ke pihak berwajib. Akan tetapi setelah teror terakhir yang saya terima beberapa hari yang lalu, kemudian saya langsung menuju ke kantor polisi untuk melaporkan tindakan tersebut. setelah menemui hasilnya kemarin ternyata dia adalah seorang waria. Apakah tindakan yang saya lakukan itu sangat keterlaluan?

Ini adalah kutipan salah satu SMS terornya yang dikirim melalui nomor: +62878398954xx

<12/04/2009/09:08:22> Anjing...!!bangsat kamu..!! Udah bosan hidup..??Liat aja kalo ketemu..!!Tak mampusin kamu..!! Dasar Sampah..!!
<18/05/2009/00:38:01> Sampe kamu tau aku,kamu mati..!!ingat itu..!! kamu instropeksi sendiri..!!Karena bangkaimu itu bahkan tak akan pernah layak dimakan anjing..!!!

Bagaimana menurut anda selaku konselor? Memang saat ini masih dalam penyelidikan dari pihak kepolisian dan masih menunggu laporan lanjutan dari saya ke pihak kepolisian terkait teror tersebut yang saya terima. terima kasih.

Jawab:

Terima kasih sdr(i) DC yang telah meluangkan waktu untuk konseling online kepada kami.

Psikopat itu bukan suatu orientasi seksual, melainkan gangguan kejiwaan seseorang. Orientasi seksual itu terdiri 3 jenis yaitu heteroseksual, homoseksual dan biseksual. Jadi tidak sepantasnya kalau teman-teman LGBTIQ itu disebut sebagai Psikopat, Pembunuh atau tindakan keji lainnya. Untuk masalah tindakan benar atau tidak tentang melaporkan kepada pihak berwajib itu, menurut saya sudah tindakan yang benar. karena tindakan teror meneror melalui sms, surat kaleng atau sejenisnya itu merupakan salah satu tindakan kriminal yang harus dibasmi. Dan demi kenyamanan dan ketentraman hidup Anda itu sah-sah saja untuk melapor ke pihak berwajib untuk melindungi Anda.

Sekian jawaban dari Saya, semoga dapat mengurangi masalah yang sedang Anda hadapi.

Ari Kusuma Wardana
Konselor Matari Sehati Yogyakarta.
http://matarisehati.weebly.com

Wednesday 15 April 2009

Uneg-uneg si Rini

by. Setia Rini

#1. Embun

Namaku Embun, saat pagi buta tetes air mataku dapat memberi kesejukan bagi laki-laki yang baru saja terbangun dari mimpi buruknya. Tubuh laki-laki itu berkeringat, bagaikan butiran-butiran air hujan yang membasahi bumi dan menggenang seluas lautan. Gemuruh ombak memecahkan karang yang angkuh, laksana tak terkoyak oleh badai. Sekali lagi laki-laki itu tenggelam dalam pelukan embun, setelah sekian lama meninggalkan kebencian yang terpendam dalam air comberan yang keruh dan berbau busuk.

Awal perjumpaanku dengan laki-laki itu terjadi secara tidak sengaja, seolah ada yang menyeret langkah kakiku ke tepi pantai. Kaki terasa nyeri saat menginjak butiran-butiran pasir yang kasar dan tajam, Embun menahan rasa sakitnya dan berusaha untuk terus berlari menjauh dari kejaran ombak yang berbuih, ia menjerit-jerit kesakitan saat air sampai di ujung mata kakinya dan rasa sakit bertambah perih terendam air garam. Perihnya belum juga hilang walaupun ombak telah surut dan kembali ke tengah lautan. Embun tak sanggup lagi berlari karena sakit yang teramat sangat, ia ingin berteriak minta tolong pada orang-orang yang sedang asik berenang-renang sampai ke tengah lautan dan dan anak-anak sedang bermain pasir, namun tidak ada yang mendengar teriakannya karena suara gemuruh ombak yang  menerbangkan suaranya lalu menghilamg bersama dengan desah angin. Percuma saja aku berteriak-teriak minta tolong, jika tak ada yang dapat merasakan sakit yang kini ku rasakan. Pelan-pelan ia menggerakan jemari kakinya dan melangkah pelan-pelan. Baru saja ia melangkah, tidak sengaja seorang laki-laki berbadan tegap menubruknya dari samping, Embun menjadi hilang keseimbangan dan jatuh terjengkal. Laki-laki itu kaget dan segera meminta maaf, tapi ia membiarkan embun yang masih terpuruk ’tuk segera berlari mengejar teman-temannya. Embun mencaci maki laki-laki itu dan melemparkan kata-kata kasar serta nama-nama binatang. Ia menjadi lupa pada rasa sakitnya, dan pulang dengan hati yang kesal. Aku benci  pantai ini!

Sudah lebih dari satu tahun Embun tidak mau pergi ke pantai walau sering kali teman-temannya membujuk embun berlibur ke sana. Luka di kakinya ia biarkan sampai mengering dan sembuh, namun rasa kesalnya masih tetap membekas dalam ingatannya. Sampai malam ini, saat aku sedang berada di persimpangan jalan menunggu bus yang tak kunjung datang membawa pergi sisa-sisa harapan dan citaku tang sedang menggelegak. Tanpa sengaja dan tanpa firasat apa-apa aku bertemu kembali dengan laki-laki itu. Namanya Purnama, namun sorot matanya redup seperti kabut malam. Sepanjang malam kita bersenda gurau, namun di hati masih tersimpan luka, Embun terdiam sejenak dan bermain dengan kesunyian yang meresahkan hatinya, sampai tiba saatnya ia tak mampu lagi menyimpan gundahnya ia mengingatkan lagi kejadian di pantai pada Purnama, laki-laki itu sengaja mentertawakan kebodohan dan ketidak perduliannnya dan sekali lagi meminta maaf pada embun. 

Purnama membuka tangannnya lebar-lebar ingin memeluk Embun, sebagai permintaan maaf dan penyesalannya, Embun menyambutnya dengan penuh rasa lega seketika itu juga hatinya menjadi luluh lantak bagai karang yang diterjang ombak yang menjadi serpihan debu yang terbang melayang ke udara. Malam merambat sangat cepat dalam pelukan Purnama, esok kan ada embun pagi yang menetes dari pucuk-pucuk daun dan laki-laki itu mereguk kesejukan dari kuncup bunga yang kini mekar dan memberikan manis madu pada kumbang jantan. Malam memberikan kehangatan pada Embun dan pagi ini embun memberikan kesejukan pada malam purnama.

Embun meneteskan airmata kerinduannya saat malam tiba, ia bertanya dalam hatinya apakah rasa ini hanya singgah sementara saja seperti kisah-kisah sebelumnya? Apakah perasaan ini harus ia campakan begitu saja seperti sampah yang ia lemparkan dalam keranjang sampah?. Terlalu banyak luka yang ia harus lemparkan begitu saja tanpa sesal. Sederet wajah laki-laki yang mewarnai malam kelamnya kembali muncul dalam benaknya yang menghitam. Menggumpal bagai awan yang sebentar lagi memuntahkan air hujan. Ia tak pernah menghitung berapa laki-laki yang pernah meneteskan peluh di atas tubuh yang mongering bagai ranting pohon beringin yang rapuh di musim kemarau sedang merindukan tetes hujan.Malam ini Embun membiarkan dirinya menyatu dengan cahaya purnama,ia tidak memperdulikan lagi masa lalunya dan terus menari-nari sepanjang malam dan tertawa mengejek dewi fortuna yang menatap iri pada sepasang binatang malam yang sedang dimabuk asmara.


#2. Perempuan Biasa

Sungguh, aku hanyalah perempuan yang biasa-biasa saja. Berulang kali ku katakan kepada lelaki yang kini sedang duduk dihadapanku, dengan mata yang sayu menatapku penuh rasa. Ada secercah cahaya memendar dari kedua matanya, sinar penuh harap dan segudang impian. Aku tak mampu menatap langsung, karena saat mataku bertubrukan dengan mata itu, seolah tersambar oleh kilatan petir sahingga dada ini bergemuruh segera ku buang pandanganku, sebelum mendung menumpahkan tetes-tetes air hujan. Mata ini terasa panas dan berat menahan  gumpalan awan yang kian menghitam. Sungguh, aku hanya perempuan biasa-biasa saja, tak cantik, tapi juga tak terlalu jelek. Wajahku jerawatan, rambut awut-awutan, tinggi semampai (semeter tak sampai). Badan kurus tinggal tulang, pakaian dekil dan kedodoran, mukaku polos tanpa sapuan make up tebal, namun masih tetap menyisakan seberkas kecantikan pemberian Tuhan yang sempurna. Sungguh aku hanya perempuan biasa saja dan aku tak mau menipumu dengan topeng dengan hiasan serba indah dan mewah, wajah penuh kepalsuan dan tipuan. Karena kecantikan bukan sekedar wajah molek, bagiku kecantikan adalah kesederhanaan, sadar akan kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri kita, dan apa adanya.

Sungguh aku hanyalah perempuan biasa-biasa saja, aku ingin lelaki itu mengenangku seperti itu, bahkan pada saat akumembalikan badanku dan bergegas pergi menghilang dari pandangannya. Sepasang mata itu masih menatapku, sinarnya mulai meredup, awan tebal menggantung di pelupuk matanya, menyisakan embun di malam hari. Sesaat aku menoleh kembali kebelakang, memastikan tak ada tetes hujan yang tercecer dari pelupuk mata lelaki itu, dan lelaki itu masih duduk terdiam di tempatnya semula, tetapi ia tak sendiri. Ada seorang perempuan berjalan menghampiri lelaki itu lalu duduk di sebelahnya. Langkahku terhenti dan hampir terjatuh karena hilang keseimbangan, entah kaki ini gemetaran dan tak bisa digerakan.

Perempuan itu seperti angin yang menghempaskan awan dengan senyuman menyeringai, lalu bersandar dan memeluknya, dan lelaki itu membalas pelukannya. Sesaat aku merasa hancur, ku seret kaki ini untuk segera berlari menjauh. Untuk terakhir kali aku menatap laki-laki itu, dan binar matanya masih tetap seperti yang dulu aku kenal, penuh rasa. Sampai kapanpun sinar mata itu masih tetap miliku seorang, dan akan terus menatapku dengan cara yang sama, mengantarkan kepergianku hingga ujug jalan sampai bayanganku menghilang ditelan kelam malam. Sinar mata lelaki itu selamany menjadi miliku, bagai bintang di angkasa yang tak pernah redup menemani malam yang sunyi.

Sungguh aku perempuan biasa-biasa saja, tak ada yang menganggapku istimewa, dari awal dan ahir aku tetap mengatakan hal yang sama. Saat aku pergi, dan entah akan kembali atau selamanya akan pergi, aku tidak akan pernah menyesali keadaan diriku sebagai perempuan yang biasa-biasa saja. Aku ingin semua orang menganggapku demikian, karena aku tak ingin dianggap istimewa namun pada ahirnya  semua orang akan merasa kecewa dan terluka, karena mengetahui yang sesungguhnya bahwa aku hanya perempuan biasa-biasa saja.


#3. Senja di Beranda Tua

Setiap senja kau akan menemukan seorang ibu yang sedang duduk di beranda depan rumah tua. Namun siapa yang menyangka hati perempuan yang selalu terlihat tenang itu menyimpan luka yang masih basah oleh darah dan nanah menggumpal menjadi satu bersama penyesalan. Lukanya sudah menahun,perempuan itu selalu mencari obat untuk menyembuhkannya,namun ia sadar bahwa obat itu datang dengan sendirinya bersama kehendak alam. Anak-anak yang selalu setia mendengarkan cerita-ceritanya adalah obat bagi jiwanya,walaupun raganya sudah mulai renta dan tiada obat untuk menyembuhkannya dari  rongrongan usia.

Cerita ini berawal saat perempuan itu masih barusia belasan tahun ia sangat suka bermain-main di halaman rumahnya yang hijau ditumbuhi rumput jepang yang lembut menusuk-nusuk telapak kakinya yang telanjang. Ia sudah bermain-main seharian ibunya menyuruhnya pulang karena hari menjelang malam. Tetapi peringatan ibunya tidak digubris dan masih asyik bermain main pasir. Ibunya marah dan memakinya dan memukulinya,setelah puas melampiaskan kemarahannya ibu itu langsung mengunci pintu rumah. Anak itu meraung-raung minta dibukakan pintu karena hari sudah gelap dan ia takut sendirian,ia ingin meminta maaf pada ibunya karena keacuhannya,ia ingin masuk,dan menyeruput susu hangat yang selalu ibu bikinkan setelah selesai mandi. Tapi pintu itu masih tertutup rapat,dan ia sudah lelah menangis menyesali perbuatannya dan ia piker ibunya sudah membuangnya. Anak itu lalu berlari ke hutan,saat memasuki hutan ia merasa sangat takut,sendirian dan tersesat.

Di dalam rumah,seorang ibu sedang duduk termenung, tak lama kemudian ia menuju ke pintu depan suara raungan dan ratapan sudah tidak terdengar beberapa menit yang lalu”biar kapok,semoga anaku sadar dengan kesalahannya” gumamnya dalam hati. Perlahan-lahan ia memutar kunci dan membuka daun pintu,mungkin di luar ia sudah tidur karena kelelahan bermain seharian,pikirnya. Bola matanya mencari sosok mungil anak kesayangannya,di depan pintu,tidak ada:di kursi panjang,tidak terlihat:ah mungkin ngumpet di kolong,tetap tidak ada. Ruangan terasa berputar seketika itu juga, seorang ibu menangis tersedu-sedu menyadari anaknya menghilang entah kemana,hatinya serasa teriris dan pedih,karena rasa bersalah dan penyesalan itu terus menghantuinya selama bertahun-tahun. Setiap senja seorang ibu duduk di teras depan rumah, menunggu anaknya pulang dan membukakan pintu, memandikannya,lalu membikinkan susu hangat kesukaannya.

Di dalam hutan serang anak kecil berjalan melewati semak berduri,bertemu binatang ,dan memetik buah-buahan saat lapar.Pernah suatu hari ia terjatuh dari pohon saat sedang memetik buah-buahan, madan mungilnya meluncur jatuh dan terjerembab di tanah yang basah oleh hujan. Ia meringis kesakitan,kakinya luka,darah mengucur dan ia semakin meraung-raung dibuatnya. Suara raungannya sampai terdengar ke tepi hutan,namun orang yang kebetulan mendengarnya malah lari terbirit-birit karena takut. Semenjak saat itu penduduk tidak ada lagi yang berani melewati tepi hutan apalagi masuk ke dalam hutan,mereka mengira ada demit yang menunggu hutan itu.

Anak itu menjadi semakin tidak tertolong,karena tak ada satu orangpun yang berani masuk kedalam hutan untuk mencari kayu bakar,anak-anak dilarang bermain-main ke hutan oleh orang tua mereka. Hanya ada satu orang yang berani keluar masuk hutan,dia adalah seorang pertapa yang suka menyepi dari keramaian.Pertapa itu kadang masih terlihat berjalan ditengah kerumunan penduduk untuk menukarkan buah-buahan dengan kain putih yang sudah lusuh dan robek. Pada suatu pagi saat sedang menukar buah kepada penjual langganannya,penjual itu bertanya apakah benar di dalam hutan ada penunggu yang sering mengganggu dengan suara-suara tangisan yang menyayat dan membuat bulu kuduk berdiri. Pertapa itu hanya tersenyum tanda maklum lalu ia berjanji akan mencari dan menankapnya jika ia bertemu dengan demit itu di perjalanan pulang nanti.Si penjual sangat senang dan lega serta tersenyum gembira.

Sudah satu purnama gadis kecil malang itu terjebak didalam hutan,ia berputar-putar mencari jalan untuk kembali ke desanya,ke pelukan ibunya namun seua jalan tampak sama dan ia semakin tersesat jauh. Ia sampai di tepi sebuah sungai yang berbatu,airnya sangat jernih seolah belum terjamah oleh tangan-tangan manusia yang serakah,lalu ia beristirahat sejenak sambil menikmati gemericik air sudah lama ia tidak dimandikan oleh ibunya,kerinduannya semakin membuncah. Ia turun melewati batu-batu kali dan segera menceburkan dirinya ke air,setelah sekian lama ia tersesat di hutan baru kali ini ia bersenang-senang bermain dengan gemericik air di sela-sela bebatuan. Ia belum sadar ketika sepasang mata sedang mengamatinya,orang itu duduk bersila di balik semak belukar dengan tenang ia terus mengamati anak kecil itu,seolah ia tidak mau mengganggu keceriaan gadis kecil itu.

Setelah puas bermain-main air,ia duduk di atas batu yang paling besar diantara yang lainnya dan berjemur hingga badannnya hangat dan bajunya mongering. Pada saat itu pertapa muncul dan mendekati gadis kecil itu,rupanya ia tidak menyadari ada yang datang. Pertapa mengucapkan salam,ia kaget dan menoleh dengan cepat kearah suara itu,betapa terkejutnya ia sehingga tak membalas salam dari Pertapa.yang dibalas dengan senyuman tanda bahwa ia maklum kehadirannya mengejutkan dan tak disangka-sangka. Pertapa memberitahukan maksud kedatangannya untuk mencari asal suara tangisan yang membuat penduduk resah dan ketakutan. Ia hanya terunduk lesu dan menceritakan kenapa ia sampai tersesat di hutan dan menangus setiap malam,sehingga pertapa menjadi sangat iba padanya. Pertapa mengajak anak itu singgah sebentar untuk beristirahat karena besok pagi-pagi sebelum matahari terbit mereka akan melanjutkan perjalanan mmereka ke desa. Mereka harus tiba di sana sebelum matahari terbit,sebelum penduduk terbangun dan berangkat ke pasar atau ke ladang. Pertapa punya alasan tersendiri mengapa mereka harus tiba disana sangat pagi saat orang-orang masih tertidur dengan lelap-lelapnya.

Malam sudah semakin larut embun menetes dari pucuk-pucuk daun jantung gadis kecil itu berdegup sangat kenras,saat pertapa membengunkannya dan bergegas untuk memulai perjalanan yang sudah lama ia nantikan. Sebuah perjalanan untuk pulang. Pertapa berjalan dengan tenang namun langkahnya mantap memijak tanah tanpa menggilas sebatang rumputpun,sedangkan gadis kecil tergopoh-gopoh setengah berlari mengikuti  di belakang pertapa. Ternyata perhitungan pertapa tepat mereka sampai di tepi hutan,matahari masih tertidur lelap ayam jantan masih diam bisu,pertapa melangkah nyaris tanpa suara. Detak jantung gadis kecil semakin keras dari sebelumnya saat ia menyusuri rumah-rumah yanh sangat ia hapal diluar kepalanya,tempat ia biasa bermain-main dengan teman-teman sebayanya, sampai diujung jalan laku belik ke kanan rumah ketiga adalah rumahnya. Rumah yang selama ini dirindukan,didalam pasti ibu sedang tidur pulas karena menungguku seharian,ia hamper menangis saat tiba di depan rumah yang hamper tak dikenalinya lagi. Dinding bambu rumahnya sudah sangat reyot, pintunya hempir roboh, halamannya dipenihi semak liar  menandakan tidak ada yang mengurus rumah semenjak kepergiannya. Ia berdiri kaku saat pertapa mengucap salam,tidak terdengar suara menyahut,lalu pertapa mengulanginya sekali lagi dengan suara yang lebih keras dan berat. Terdengar pentu dibuka,seorang perempuan setengah baya keluar dan menatap tidak percaya melihat tamu yang sudah berada di depan pintu. Terdegar suara isak tangis dan air mata berhamburan saat ibu memaluk gadis kecilnya yang telah lama hilang.

Langit senja berwarna merah keunguan,setip orang yang melewati rumah ibu menoleh keheranan karena sekarang tidak ada lagi seorang ibu yang selalu duduk di beranda menanti anaknya pulang, bahkan setiap sore rumah ibu selalu ramai oleh anak-anak yang bermain-main di halaman penuh bunga,di beranda anak-anak duduk mengelilingi gadis kecil yang kini sudah berusia senja sedang mendongeng dan anak-anak menyimak dengan hikmat. Pada setiap akhir cerita ia selalu menceritakan anak gadis yang tersesat di hutan, ia selalu mengulang cerita itu setiap hari sebelum anak-anak pulang namun ia tak pernah bosan untuk mengulang cerita itu kembali. Setiap kali ia selesai bercerita, tanpa diperingatkan satu demi satu anak-anak pun segera berpamitan pulang seolah sudah hafal benar bahwa cerita gadis yang hilang merupakan pesan bagi mereka bahwa hari sudah senja, sudah waktunya untuk pulang ke rumah, dan ibunya sudah menantinya dengan segelas susu hangat dan pelukan kasih sayang.


#4. Lorong Hati

Dian, nama yang indah untuk seorang perempuan, dalam bahasa jawa dian berari lampu dari minyak tanah yang menerangi gelapnya malam. Namun mungkin ada benarnya kata pepatah yang mengatakan; apalah arti sebuah nama? Kar’na yang aku lihat dihadapanku sekarang adalah seonggok gumpalan daging yang menyerupai manusia, karena tidak sedikit pun cahaya yang terpancar dari dalam jiwanya, kosong dan sunyi.

Dian, sosok perempuan yang sekarang berada dihadapanku, jari-jari tangannya gemetaran memegang sebatang rokok lalu ia hisap dalam-dalam seakan ingin menelan bulat-bulat getir yang ia rasakan selama hidupnya. Tatapan matanya kosong, tidak dapat aku merasakan gairah untuk tetap hidup, lalu ia menghempaskan asap rokok seperti ingin membuang kepedihan yang menyumbat tenggorokannya. Dia selalu diam tidak pernah mengucap sepatah katapun, namun setiap kali mengenang masa lalunya yang sering melintas dalam benaknya, ia merintih seperti menahan sakit yang teramat dalam, bahkan sering kali perawat memberinya obat penenang saat Dian mulai lepas kendali berteriak dengan keras dan membanting semua benda yang ada didekatnya. Semenjak sebulan yang lalu dia menjadi salah satu penghuni RSJ, karena menderita depresi berat serta gegar otak dikarenakan tertimpa reruntuhan puing-puing rumahnya pada bencana gempa 27 Mei lalu.

Menurut catatan, Dia pernah kuliah di salah satu PTS di Yogyakarta. Orang tuanya berada di Surabaya dan sudah bercerai semenjak Dian masih duduk di bangku SD, semenjak SMP ia sudah mengenal narkoba, kemudian di bangku SMA ia dikeluarkan karena selalu datang terlambat dengan mulut masih berbau alkohol. Sebenarnya orang tuanya melarang keras saat ia mengutarakan niatnya ingin melanjutkan kuliah di kota lain namun ia tetap nekad untuk pergi, akhirnya orang tuanya sudah tidak mempedulikan keberadaannya lagi. Setelah selesai menganalisa laporan tersebut aku segera menemuinya di ruang isolasi.